20 Oktober 2012

Aqiqah Dan Pelaksanaannya Menurut Islam

Pengertian Aqiqah

Aqiqah merupakan salah satu ajaran Islam yang dicontohkan Rasulallah SAW., yang mengandung hikmah dan manfaat positif terkait dengan kelahiran bayi. Oleh karenanya kita sebagai ummat muslim sudah selayaknya untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam tanpa terkecuali, termasuk melaksanakan aqiqah. Aqiqah berasal dari bahasa arab dari kata 'Aqqa, yang menurut bahasa artinya: memotong atau memutus. Asalnya dinamakan "aqiqah" karena dipotongnya leher binatang dengan penyembelihan itu. Ada yang mengatakan aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong. Ada pula yang mengatakan bahwa aqiqah itu asalnya ialah "rambut" yang terdapat pada kepala si bayi yang dibawa ketika ia dilahirkan, karenanya ia mesti dicukur.


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.25-26, mengatakan Imam Jauhari berkata : "Aqiqah ialah menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.”

Adapun maknanya secara syari’at, aqiqah adalah hewan (kambing) yang disembelih untuk menebus bayi yang baru dilahirkan pada hari ketujuh dari kelahirannya, diikuti dengan memberi nama dan mencukur rambut si bayi.

Dalil-dalil Syar'i Pelaksanaan Aqiqah

Dari Samurah bin Jundab, ia berkata : Rasulullah SAW. Bersabda : “Setiap anak bayi itu tergadaikan dengan aqiqahnya, yang pada hari ketujuhnya disembelihkan hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]

Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, ia berkata : Rasulullah SAW. bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan (dicukur rambut) darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari]

Dari 'Aisyah ra., ia berkata, “Rasulullah SAW. pernah ber‘aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ketujuh dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)." [HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak: 264]

Dari Abu Buraidah ra.: “Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas, atau kedua puluh satunya.” [HR Baihaqi dan Thabrani]


Dari 'Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah SAW. bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang sama dan bayi perempuan satu ekor kambing.” [HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah]

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah SAW. bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi, maka hendaklah lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad]

Dari Ummu Kurz Al-Ka’biyah, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang ‘aqiqah. Maka Rasulallah SAW., bersabda : “Ya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina”. [HR. Ahmad dan Tirmidzi, dan Tirmidzi menshahihkannya, dalam Nailul Authar 5 : 149]

Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda : “Meng'aqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR. Abu Dawud, Ibnu Jarud, Thabrani]

Hukum Aqiqah

Hukum Aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunnah muakkadah atau sunnah yang sangat dianjurkan, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, seperti: Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafi′i dan sahabat-sahabatnya, Imam Hambali, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama ahli fiqih (fuqaha).

Dasar yang digunakan oleh kalangan Imam Syafi’i dan Imam Hambali, bahwa aqiqah sebagai sesuatu yang sunnah (muakkadah) adalah hadist Nabi SAW., yang artinya : “Setiap anak bayi itu tergadaikan dengan aqiqahnya, maka disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya),...” [HR. Tirmidzi, Hasan Shahih]

Dasar lain bahwa aqiqah adalah sesuatu yang sunnah, yakni hadist Rasulallah SAW., yang artinya: “Bersama anak laki-laki ada aqiqahnya, maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (dicukur rambutnya).” [HR: Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan]

Perkataan yang artinya : "maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan)” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban, yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silahkan lakukan.” [HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan].

Dan perkataan yang artinya : “ingin menyembelihkan...” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah. 

Jumlah Hewan Aqiqah

Jumlah hewan aqiqah minimal adalah satu ekor, baik untuk laki-laki atau pun untuk perempuan, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas ra. : “Sesungguhnya Nabi SAW meng'aqiqahi Hasan dan Husain satu domba satu domba.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan Ibnu Al Jarud]

Namun yang lebih utama adalah dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan berdasarkan hadits-hadits berikut :

Dari Aisyah ra. berkata, yang artinya: “Nabi SAW memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan dari anak perempuan satu ekor.” [Shahih riwayat At-Tirmidzi] 

Dari Ummu Kurz Al-Ka’biyah, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang aqiqah. Maka Rasulallah SAW., bersabda : “Ya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina”. [HR. Ahmad dan Tirmidzi, dan Tirmidzi menshahihkannya, dalam Nailul Authar 5 : 149]

Seputar Hewan Untuk Aqiqah
 
Dalam hal hewan sembelihan untuk aqiqah, hewan yang boleh dipergunakan sebagai sembelihan hanyalah kambing, tanpa memandang jantan atau betina. Namun yang lebih diutamakan adalah kambing jantan agar kelangsungan reproduksi hewan tersebut tetap terjaga. Selain itu, kambing yang layak untuk dijadian sembelihan adalah kambing yang baik, gemuk, sehat dan tidak ada cacatnya. Semakin besar dan gemuk tentu semakin baik. Sabda Nabi SAW., dari Ummu Kurz Al-Ka'biyah : "... Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina”. [HR. Ahmad dan Tirmidzi] 


Imam Malik berkata: "Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah (kurban), tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit." Imam Asy-Syafi’i berkata: "Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban." 

Adapun perihal daging sembelihan, selain disedekahkan juga dapat dimakan oleh keluarga yang melakukan aqiqah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra., "Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh". [HR al-Bayhaqi]. Wallahu a'lam bish-shawab.

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud", berkata: “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah SAW. tentang cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hukum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah Ta'ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].

Syaikh Utsaimin berkata: "Dan tidak apa-apa dia mensedekahkan darinya dan mengumpulkan kerabat dan tetangga untuk menyantap makanan daging aqiqah yang sudah matang." Syaikh Jibrin berkata: "Sunnahnya dia memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya." Syaikh Ibnu Bazz berkata: "Dan engkau bebas memilih antara mensedekahkan seluruhnya atau sebagiannya dan memasaknya kemudian mengundang orang yang engkau lihat pantas diundang dari kalangan kerabat, tetangga, teman-teman seiman dan sebagian orang faqir untuk menyantap-nya." dan hal serupa dikatakan oleh Ulama-ulama yang terhimpun di dalam Allajnah Ad-Daimah.

Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Pada dasarnya waktu pelaksanaan aqiqah yang disunnahkan menurut kesepakatan para ulama ialah pada hari ketujuh dari hari kelahiran bagi yang mampu. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW., yaitu : “Setiap anak itu tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelihkan hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]

Namun bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ke 7, maka bisa dilaksanakan pada hari ke 14, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke 21. Ini berdasarkan hadits dari Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi SAW., beliau berkata : “Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh satu.” [Hadits hasan riwayat Al Baihaqi]

Apabila setelah tiga minggu (hari ke 21) masih tidak mampu, maka dapat dilaksanakan kapan saja di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke 7, ke 14 dan ke 21 adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib, dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke 7 (tujuh). Imam Malik berkata : “Pada dzohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari ke 4 (empat), ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya, Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan, sebagaimana firman Allah SWT: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. [QS. Al-Baqarah: 185]

Aqiqah adalah syari’at yang ditekankan kepada ayah si bayi, yang berarti aqiqah itu menjadi beban dan tanggungan ayah atau orang tua si bayi pada hari-hari yang disyaratkan. Namun bila seseorang yang belum disembelihkan hewan aqiqah oleh ayahnya hingga ia besar dikarenakan si ayah tidak mampu, maka dia bisa menyembelih aqiqah-nya dari dirinya sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan, ia berkata: “Dan bila si bayi tidak diaqiqahi oleh ayahnya kemudian dia mengaqiqahi dirinya sendiri, maka hal itu tidak apa-apa,” Wallahu ‘alam bish-shawab.


Pendapat lain yang sepaham dengan hal tersebut adalah dari para tabi’in, seperti: Atha', Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin, juga satu riwayat Imam Ahmad yang menjawab atas pertanyaan al-Maimuni. Satu ketika al-Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, “ada orang yang belum diaqiqahi apakah ketika besar apakah ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri?.” Imam Ahmad menjawab: “Menurutku, jika ia belum diaqiqahi ketika kecil, maka lebih baik melakukannya sendiri saat dewasa. Aku tidak menganggapnya makruh”. Demikian pula para pengikut Imam Syafi’i, mereka juga berpendapat demikian. Menurut mereka, anak-anak yang sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, dianjurkan baginya untuk melakukan aqiqah sendiri. Dalilnya adalah hadist riwayat Anas bin Malik ra., bahwasanya Nabi SAW. mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat sebagai nabi). [HR Baihaqi, Thabrani dan Thahawi]

Akan tetapi ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Mereka berpendapat bahwa orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi oleh ayahnya, tidak perlu lagi melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri setelah dewasa, karena aqiqah itu ditekankan kepada ayah si bayi. Mereka menilai hadist Anas bin Malik ra. yang menjadi dasar itu adalah hadist lemah dan dinilai dhaif, sehingga hadist tersebut tidak layak untuk menjadi dalil. Mereka adalah para pengikut Imam Malik (Malikiyah) dan riwayat lain dari Imam Ahmad, juga ulama lainnya seperti: Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Dzahabi, Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dan Imam Nawawi. Menurut Imam Nawawi, ”Hadist ini hadist batil,” karena menurut beliau di antara periwayat hadist-nya terdapat Abdullah bin Muharrir yang disepakati kelemahannya. (Al-Majmu’, 8/432)

Namun Nashiruddin Al-Albani telah meneliti ulang hadist riwayat Anas bin Malik ra. tersebut dan menilainya bahwa hadist tersebut sebagai hadist sahih. (As-Silsilah al-Shahihah, no 2726). Menurut Al-Albani, hadist Anas ra. ternyata mempunyai dua isnad (jalur periwayatan). Pertama, dari Abdullah bin Muharrir, dari Qatadah, dari Anas ra. Jalur inilah yang dinilai lemah karena ada Abdullah bin Muharrir. Kedua, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas ra. Jalur kedua ini yang oleh Al-Albani dianggap jalur periwayatan yang baik (isnaduhu hasan), dan ini sejalan dengan penilaian Imam Al-Haitsami (Majma’ Az-Zawa`id : 4/59).

Terkait penilaian sanad hadist, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan lemahnya satu sanad dari suatu hadist, tidak berarti hadist itu lemah secara mutlak. Sebab bisa jadi hadist itu mempunyai sanad lain, kecuali jika ahli hadist menyatakan hadist itu tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad saja. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/345).

Sumber Rujukan :